KH. Hasyim Muzadi: "Saya tegaskan sekali lagi bahwa PBNU sekarang ini vakum"
A. Z. Muttaqin - Jum'at, 21 Syawwal 1436 H / 7 Agustus 2015 09:00
MALANG (Arrahmah.com) – Teks berita.Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyatakan, saat ini PBNU vakum dari kepemimpinan, bahkan kekosongan pemimpin ini akan terjadi sampai digelar kembali muktamar untuk memilih calon ketua umum yang legal.
Mengutip Antaranews.com, “Saya tegaskan sekali lagi bahwa PBNU sekarang ini vakum. Organisasinya memang ada, tapi pemimpinnya tidak ada sampai ada muktamar lagi,” ujarnya kepada wartawan di kediamannya, Kompleks Pondok Pesantren Al-Hikam Malang, Jawa Timur, Kamis.
Hasyim, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), menilai bahwa wilayah dan cabang memiliki hak hukum dan hak memilih untuk menggelar kembali muktamar.
Oleh karena, ia menegaskan, muktamar yang digelar di Jombang dan baru usai itu tidak sesuai aturan, prosedur, serta tidak tertib, bahkan bisa dikatakan cacat hukum karena esensinya prosedur organisasi tidak dilalui secara normal.
Selama vakum kepemimpinan, ia menyatakan, tidak ada tokoh atau siapa pun bisa mengatasnamakan PBNU sampai digelar muktamar ulang yang konstitusional.
Pengurus wilayah atau di bawahnya. menurut Hasyim, tidak perlu khawatir akan terjadi pembekuan maupun perombakan (reshuffle)pengurus wilayah karena saat ini PBNU-nya sendiri vakum.
Hasyim mengemukakan, jika dirinya juga tidak bersedia untuk dicalonkan sebagai Rais Aam dari forum yang diikuti 29 wilayah yang sebenarnya memenuhi kuorum di Pondok Pesantren Tebuireng.
“Kalau saya terima pencalonan itu, NU akan pecah. Begitu juga ketika saya menerima pencalonan dari forum yang digelar di alun-alun karena statusnya cacat hukum. Apakah bisa diakal dua forum mengaku semua kuorum? Ini bagaimana?” kata pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam tersebut.
Meski ada 29 Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) yang keluar dari muktamar di alun-alun Jombang dan bergabung ke kubu Salahuddin Wahid di Tebuireng, Hasyim Muzadi membantah bahwa NU pecah, sebab tidak ada muktamar tandingan atau NU tandingan.
Yang terjadi, menurut dia, adalah gerakan pemurnian NU dari penyusupan ideologi atau aliran pemikiran yang merusak keimanan dan perilaku petualang (adventurer) para politisi.
“Gerakan pemurnian ini akan menjadi arus besar di dalam NU karena seluruh wilayah dan cabang menyaksikan sendiri bagaimana selama proses muktamar, muktamirin diperlakukan semena-mena mulai dari sulitnya pendaftaran, rekayasa persidangan, dan perlakuan kasar terhadap para ulama dan kiai,” ujarnya.
Ia menimpali, “Hikmahnya adalah semua warga NU bisa mengetahui betapa bahayanya penyusupan yang dilakukan secara komprehensif.”
Hasyim mengemukakan bahwa dirinya juga memberikan apresiasi atas mundurnya atau penolakan KH Mustofa Bisri (Gus Mus) saat dicalonkan sebagai Rais Aam PBNU, karena menunjukkan dirinya tidak ingin menjabat dari sebuah proses abal-abal.
Dia pun mengungkapkan kekecewaannya karena selama proses Muktamar NU yang dinilai tidak sesuai dengan aturan organisasi.
“Dengan kondisi seperti sekarang ini, wilayah dan cabang NU memiliki kewajiban untuk segera mengadakan muktamar ulang yang konstitusional,” demikian KH Hasyim Muzadi. (azm/arrahmah.com)
Dr. Said Aqil Siradj, dulu dan kini
Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.*
(Arrahmah.com) – Perjalanan hidup manusia melalui berbagai fase dan juga perubahan fisik, mental, dan juga spiritual. Adanya perubahan ini menjadi bukti nyata bahwa hanya Allah Azza wa Jalla yang kekal. Dan kalau bukan karena karunia dari-Nya manusia tidak akan kuasa untuk teguh dalam menetapi sesuatu termasuk agamanya (istiqamah). Karena itu, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memohon keteguhan hati kepada Allah: “Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” Dan ini mungkin salah satu hikmah yang dapat anda petik dari kewajiban membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat shalat. Pada surat ini terdapat permohonan kepada Allah Azza wa Jalla agar senantiasa menunjuki anda jalan yang lurus, yaitu jalan kebenaran.
Fenomena ini terus melintas dalam pikiran saya, gara-gara saya membaca pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj di berbagai media. Said Aqil Siradj mengatakan bahwa ajaran syiah tidak sesat dan termasuk Islam seperti halnya Sunni.
Untuk menguatkan klaimnya ini, Said Aqil merujuk pada kurikulum pendidikan pada almamaternya Universitas Umm Al Quro di Arab Saudi. Menurutnya: “Wahabi yang keras saja menggolongkan Syiah bukan sesat.”
Pernyataan Said Aqil ini menyelisihi fakta dan menyesatkan. Sebagai buktinya, pada Mukaddimah disertasi S3 yang ia tulis semasa ia kuliah di Universitas Umm Al Quro, hal: tha’ (ط) Said Aqil menyatakan: “Telah diketahui bersama bahwa umat Islam di Indonesia secara politik, ekonomi, sosial dan idiologi menghadapi berbagai permasalahan besar. Pada saat yang sama mereka menghadapi musuh yang senantiasa mengancam mereka. Dimulai dari gerakan kristenisasi, paham sekuler, kebatinan, dan berbagai sekte sesat, semisal syi’ah, Qadiyaniyah (Ahmadiyyah), Bahaiyah dan selanjutnya tasawuf.”
Pernyataan Said Aqil pada awal dan akhir disertasi S3-nya ini menggambarkan bagaimana pemahaman yang dianut oleh Universitas Umm Al Quro. Bukan hanya Syi’ah yang sesat, bahkan lebih jauh Said Aqil dari hasil studinya menyimpulkan bahwa paham tasawuf juga menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu pada akhir dari disertasinya, Said Aqil menyatakan: “Sejatinya ajaran tasawuf dalam hal “al hulul” (menyatunya Tuhan dengan manusia) berasalkan dari orang-orang Syi’ah aliran keras (ekstrim). Aliran ekstrim Syi’ah meyakini bahwa Tuhan atau bagian dari-Nya telah menyatu dengan para imam mereka, atau yang mewakili mereka. Dan idiologi ini sampai ke pada para pengikut Sekte Syi’ah berawal dari pengaruh ajaran agama Nasrani.” (“Silatullah Bil Kaun Fit Tassawuf Al Falsafy” oleh Said Aqil Siradj 2/605-606).
Karena menyadari kesesatan dan mengetahui gencarnya penyebaran Syi’ah di Indonesia, maka Said menabuh genderang peringatan. Itulah yang ia tegaskan pada awal disertasinya, sebagai andilnya dalam upaya melindungi Umat Islam dari paham yang sesat dan menyesatkan.
Namun, alangkah mengherankan bila kini Said Aqil menelan kembali ludah dan keringat yang telah ia keluarkan. Hasil penelitiannya selama bertahun-tahun, kini ia ingkari sendiri dan dengan lantang Said Aqil berada di garda terdepan “pembela” Syi’ah. Mungkinkah kini Said Aqil telah menjadi korban ancaman besar yang dulu ia kawatirkan mengancam Umat Islam di negeri tercinta ini?
*Penulis, lulusan Universitas Islam Madinah, dosen tetap STDI Imam Syafii Jember, dosen terbang Program Pasca Sarjana jurusan Pemikiran Islam Program Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan anggota Pembina Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI)
(arrahmah.com)
0 komentar:
Posting Komentar